Mengapa Harus Dengan NAC Polri ?


Belakangan ini banyak kalangan yang  menyadari bahwa dunia pendidikan kita telah lama meninggalkan materi yang tekait dengan penananam nilai moral bagi anak didik mulai dari pendidikan bagi anak usia dini sampai dengan pendidikan tinggi. Degradasi moral, hilangnya etika, sopan santun, penghargaan terhadap orang tua, guru  bahkan terhadap aturan yang ada sering disebut-sebut sebagai akibat tidak adanya sentuhan moral pada kurikulum pendidikan. Pada hal kita tahu bahwa salah satu fungsi utama lembaga pendidikan adalah merubah perilaku peserta didik bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta didik tanpa dibekali nilai moral dapat diibaratkan memberikan pisau yang tajam kepada seseorang tanpa mengarahkan dan memberikan batasan penggunaannya. Pisau yang tajam bisa digunakan untuk kejahatan atau kemaslahatan tergantung kondisi moralitas penerimanya. Pendidikan model ini dirasakan telah lama melanda kita sehingga kualitas sember daya manusia yang mengisi lapangan pekerjaan baik swasta maupun pemerintahan saat ini dapat dilihat hasil karyanya.  

Dalam organisasi Polri belakangan telah lahir suatu kesadaran internal bahwa berbagai tingkah laku dan  perbuatan sebagian anggota Polri yang dianggap bertentangan dengan kehendak masyarakatnya dinyatakan sebagai budaya Polri yang harus dirubah. Berikut adalah sasaran reformasi kultural Polri yang sering dipaparkan dalam reformasi birokrasi Polri.


 Gambaran tersebut ingin menunjukkan bahwa ada 9  perilaku yang menjadi sasaran untuk dirubah menjadi sebaliknnya melalui perubahan mindset dan cultur set  atas ingin dirubah. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya, mengingat perilaku tersebut sudah menjadi budaya yang sudah lama dimiliki dan dilakukan oleh Polri secara institusional. Beberapa teori telah menjelaskan bahwa untuk merubah perilaku memerlukan cara yang ampuh dan waktu yang lama. Orang jawa mengatakan “yen watuk akeh obate, ning yen watak angel tombone” artinya kalau batuk banyak obatnya, tapi kalau “watak” atau karakter sulit merubahnya. Untuk itu sebenarnya Polri menetapkan tiga pilar perubahan mendasar sejak awal dipisahkannya dengan ABRI (TNI saat ini). Tiga pilar perubahan dimaksud meliputi perubahan struktural, instrumental dan kultural. Sejak saat itu Polri sudah berkali-kali merubah strutur organisasi melalui validasi dan restrukturisasi dengan mudah.  Selain itu berbagai instrumen  juga telah diperbaharui dan disempurnakan tanpa kendala yang berarti. Namun demikian untuk merubah kultur Polri telah dilakukan berbagai upaya dan hasilnya bisa kita lihat bahwa sampai saat ini berbagai masalah besar yang timbul dalam organisasi Polri bukan masalah yang bersifat teknis melainkan terkait dengan moral yang menunjukkan bahwa secara kultural Polri belum berubah bahkan terkesan merosot.


Memperhatikan paparan DR. A. Ruky, konsultan Polri dalam program reformasi birokrasi Polri ada 3 (tiga) jalur untuk melakukan perubahan budaya organisasi yaitu kepemimpinan, sistem & stuktur maupun individual. Menurut pendapat saya dari tiga jalur dimaksud yang paling menentukan adalah merubah budaya individual, sebab budaya individulah yang akan menjilma dalam budaya kepemimpinan dan akan mempengaruhi pembangunan sistem dan struktur dalam suatu organisasi.

Pengalaman selama ini perubahan sistem dan struktur yang sudah sering dilakukan di lingkungan organisasi Polri belum dapat memberikan jawaban yang tepat bagi perbaikan institusi Polri. Sebagai anggota Polri kami bisa melihat dan merasakan bahwa pola kepemimpinan dan sistem yang dibangun belum didasari oleh pemikiran individu-individu Polri berbudaya sebagaimana yang diinginkan. Kepemimpinan maupun sistem & strukturnya masih dibangun oleh individu-individu yang berkarakter dan masih berpegang pada budaya lama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa di sana-sini masih terdapat bebagai kebijakan yang sulit diimplementasikan. Bahkan juga tidak sedikit  diantara kebijakan Pimpinan yang  saling kontradiksi antara judul dan isinya dimana judulnya merupakan angan-angan yang edial sedangkan isinya masih dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang sebetulnya bertentangan dengan arah kebijakan yang sesungguhnya. Hal demikian tanpa disadari muncul sebagai reaksi bawah sadar dari konseptorya dan tertulis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan materi kebijakan dimaksud. Selain itu jika kita kaji lebih jauh juga tidak jarang anggota Polri yang mempersepsikan sebaliknya dari kebijakan yang menuju perubahan sebagai akibat dari perbedaan nilai (value) dimana nilai yang selama ini dianggap baik sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan lingkungan strategis.

Merujuk kembali dengan apa yang telah dipaparkan oleh DR. A Ruky bahwa “budaya diibaratkan sebagai bawang keyakinan dan nilai adalah lapisan terdalamnya”. Dengan demikian  untuk merubah sikap dan perilaku seseorang harus dirubah terlebih dahulu keyakinan, nilai dan mindsetnya. 


UNTUK MERUBAH SIKAP DAN PERILAKU SESEORANG
HARUS DIRUBAH LEBIH DAHULU KEYAKINAN, NILAI,
DAN MINDSET-NYA


Disadari bahwa untuk melakukan perubahan terhadap keyakinan, nilai dan mindset yang telah diyakini dan dimiliki dalam kurun waktu lama pasti memerlukan jurus yang dapat diandalkan dan memerlukan waktu yang lama. Namun demikian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan teknik-teknik unggulan yang sederhana dan mudah dilakukan sehingga diharapkan akan dapat memberikan  kemudahan dalam melakukan perubahan. Berbagai pelatihan terkait dengan perubahan mindset  yang telah dilakukan telah memanfaatkan teknik-teknik tersebut. Pelatihan perubahan mindset bagi para Pati Polri dan Kasatwil dengan Apressiative Inquiry bersama Universitas Indonesia, ESQ-165 oleh Ari Ginanjar Tim, Outward Bound oleh Irjen Pol (P) Drs. Basyir Barmawi dengan Tim  dan NAC Polri oleh Tim Kreatif Polri merupakan upaya nyata yang telah dilaksanakan oleh Polri dan telah diyakini bahwa semuanya bermanfaat bagi upaya perubahan budaya Polri menjadi lebih baik. Untuk mengukur keberhasilan jangka panjang dari semua model pelatihan di atas tentu belum bisa dilakukan, mengingat baru sebagian kecil personil Polri yang telah mengikuti pelatihan. Yang perlu dipikirkan adalah sampai kapan kita bergantung pada pelatihan perubahan mindset  dan culture set secara parsial seperti ini. Merubah budaya tidak bisa dilakukan hanya secara parsial dan tidak bisa haanya dalam waktu sekali terus berubah.  Merubah mindset dan keyakinan harus dilakukan berulang kali sebagaimana kita men-charge battery dimana saat lemah harus dilakukan charge kembali (recharging). Dengan demikian perlu terobosan kreatif untuk menjadikan pelatihan ini menjadi gerakan secara nasional yang dapat membengun kesadaran kolektif dari seluruh anggota Polri yang berkelanjutan.  

NAC Polri telah lama diuji dan dicoba serta dikembangkan di lingkungan Polri oleh Tim kreatif Polri sejak tahun 2004 mulai dari SPN Mojokerto Polda Jawa Timur, Polda Kalbar, Polda Kepri, Polda Kep Babel, Polda Sultra, Polda Sulut, Sespima, Selapa, PTIK dan Sespimpol sehingga saat ini telah memiliki keunggulan dibandingkan dengan berbagai model pelatihan serupa di atas. NAC Polri adalah milik Polri  sendiri sehingga memiliki banyak kelebihan untuk dikembangkan dalam mendukung percepatan perubahan  kultural/budaya Polri. Kelebihan dimaksud antara lain  :
  1. NAC Polri telah dikembangkan dan memiliki Trainer dari anggota Polri yang sangat memahami situasi dan kondisi budaya Polri.
  2. Owner dan NAC Specialist yang merupakan pengembangnya di Indonesia adalah Ronald Nurdanadarma telah menyumbangkan dan memperbolehkan programnya dimodifikasi sesuai kepentingan Polri untuk mendukung percepatan perubahan kultural Polri sejak tahun 2004.
  3. Telah dilakukan modifikasi dan dikembangkan di beberapa Lemdik Polri dan telah menyentuh  puluhan ribu anggota Polri dan membentuk Tim Trainer dari Polri hanya bermodalkan semangat dengan memanfaatkan anggaran pendidikan dan pelatihan yang ada selama ini.
  4. Saat ini telah memiliki Master Trainer dan 4 (empat) Trainer dari Polri  diantaranya telah belajar langsung selama 6 (enam) hari dengan Anthony Robbins adalah pengembangnya dari Amerika Serikat dan bersertifikat.
  5. Hampir seluruh peserta pelatihan NAC Polri merasakan manfaatnya, menginginkan dimasukkan dalam kurikulum dasar pendidikan Polri serta  dikembangkan agar dapat menyentuh seluruh personil Polri dan masyarakat Indonesia.
  6. Hasil pelatihan dapat diukur secara kuantitatif dan dalam waktu 2 hari atau 24 jam pelajaran berhasil meningkatkan motivasi, semangat dan percaya diri untuk memecahkan persoalan yang sangat sulit bahkan hampir mustahil minimal 250 %.
  7. Melakukan terapi dan memberikan ketrampilan untuk melakukan terapi terhadap para peserta yang menglami trauma atas kejadian dan trauma atas seseorang yang telah mengganggu pikirannya bertahun-tahun.
  8. Dalam tahun 2010 saja para Trainer NAC Polri telah menyentuh terhadap  4.951 anggora Polri dan 2.087 anggota masyarakat dari berbagai institusi dan kelompok masyarakat sebagai  implementasi perpolisian masyarakat (community policing) di Setukpa Lemdikpol.
  9. Siap  dan telah berpengalaman membentuk Trainer melalui Training On Trainer ( TOT ) untuk menjadikan gerakan perubahan mindset secara nasional dalam rangka mensukseskan program prioritas Polri khususnya perubahan budaya Polri dengan memicu perubahan mindset dan culture set.
Beberapa kelebihan inilah yang mendorong Tim Kreatif Polri untuk mengembangkan NAC Polri  dengan  mengharapkan dukungan Pimpinan Polri dan semua pihak agar dapat memberikan kontibusinya secara maksimal dalam percepatan perubahan budaya Polri. Kami percaya bahwa budaya Polri yang baik akan dapat mengawal budaya masyarakatnya menuju cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur berdsarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945


Blogroll